Friday, October 17, 2008

CAPITA SELECTA PERJUANGAN MASA LALU (Sebuah Otobiografi)

Pendahuluan

Penulis menyusun buku ini hanya untuik mengungkap beberapa catatan yang penulis anggap penting untuk diingat kembali oleh keluarga. Oleh uwa, paman beserta anak cucunya, maupun adik dan kakak beserta anak cucunya. Penulis ingin mengungkap kembali perjuangan keluarga. Perjuangan seorang ibu. Perjuangan ayah yang ikut membela negara pada masa lalu. Perjuangan kami, anak-anak yang berjuang untuk hidup mandiri dalam menghadapi resiko kelaparan maupun resiko peperangan. Penulis mengungkapkan pula pandangan pribadi terhadap tokoh bung Karno sebagai seorang manusia yang memiliki kharisma, serta catatan-catatan Bapak Yunus Subiadibrata, Bapak Yunus Kartasutisna dan lain-lain sebagai pahlawan-pahlawan Cianjur. Selanjutnya ungkapan penulis sebagai saksi sejarah dalam melihat perjuangan selama dalam perjalanan melewati Kranji dan Bekasi, serta perjuangan rakyat Cirebon ditambah dengan obrolan-obrolan yang biasa diceriterakan sehari hari oleh ayah. Buku ini merupakan sebuah otobiografi yang tentang penulis yang disusun oleh penulis sendiri Oleh karena itu, buku ini penulis beri judul ” CAPITA SELECTA PERJUANGAN MASA LALU” .

Penulis gambarkan pula peranan rakyat pedesaan sebagai pendukung yang luar biasa dalam memenangkan revolusi fisik. Padahal, saat ini mereka belum sepenuhnya merasakan hasil jerih payahnya dan pengorbanannya. Belum merasakan nikmatnya dan indahnya hasil revolusi. Buku ini diakhiri dengan harapan masyarakat yang secara singkat penulis rumuskan. Tentunya harapan-harapan ini akan menjadi pedoman semua pihak untuk terus memperjuang kannya.

Penyusunan tulisan ini dimaksudkan untuk menggugah keluarga menghayati perjuangan pendahulunya. Namun penulis meyakini, tentunya banyak pula pihak yang akan memanfaatkannya sebagai referensi. Semoga ada manfaatnya.

Gambaran keluarga R. Garnawan Kusumaamidenda.

Penulis dilahirkan di Sukabumi tanggal 25 Desember 1938. Penulis adalah putera ke sembilan dari empatbelas bersaudara, tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan. Ayah adalah R. Garnawan Kusumaamidenda yang beristerikan Nyi R. Siti Sarah. Ayah maupun Ibu berasal dari Ciamis. Mereka adalah putera Galuh yang menurut silsilah merupakan titisan keturunan dari Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Waktu penulis dilahirkan, ayah bekerja sebagai Camat di Kecamatan Palimanan.

Pendidikan di rumah boleh dikatakan semi feodal.

Kakek dari ayah bernama R. Padmadikusumah, beliau telah lama wafat. Beliau dimakamkan di Imbanagara. Penulis tidak sempat mengenal beliau. Sedangkan nenek dari ayah, bernama R. Ayu Teja Bermaraningrat. Beliau dimakamkan di Pemakaman Jambansari – Ciamis.

Kakek dari ibu bernama R. Nataadipura, sedangkan nenek dari ibu bernama Nyi R. Padmikusumah. Nenek ini bukanlah orang Ciamis. Menurut silsilah, beliau adalah orang Jakarta yang meupakan anak keturunan Pangeran Jayakarta.

Keempatbelas bersaudara adalah :

1. Nyi R. Hj. Minina lahir tanggal 4-4-1923

2. Nyi R. Hj. Djuaani lahir tanggal 15-1-1925

3. Nyi R. Hj. Djuansah lahir tanggal 10-12-1926

4. R. Godi Rusmana lahir tanggal 9-7-1929

5. Nyi R. Hj. Yulia lahir tanggal 1-7-1932

6. R. Slamet lahir tanggal 1-3-1934

7. R. Suparman lahir tanggal l5-5-1935

8. R. H. Suherman lahir tanggal 1-4-1936

9. Drs. R. H. Rachmat lahir tanggal 25-12-1938

10. Nyi R. Djuariah lahir tanggal 9-8-1940

11. Drs. R. H. Muhamad Aman lahir tanggal 25-3-1942

12. Nyi R. Tetty Yiliati lahir tanggal l3-7-1943

13. Nyi R Hj. Tati Kurniati lahir tanggal 5-10-1944

14. R. Dedy Hidayat lahir tanggal 24-5-1949

Sebagai lambang kebanggan kami kepada orang tua, semua anak laki-laki menambahkan namanya dibelakang dengan nama ayah ”Kusumaamidenda”. “Kusumah” diartikan sebagai bunga yang harum, sedangkan ”amidenda” adalah ungkapan nama keningratan atau feodal masa lalu. Kata ”amidenda” berasal dari kata hamid dan endah. Hamid berasal dari Asmaul Husna yang berarti Maha Terpuji. Mungkin kakek dan nenek mengharapkan anaknya menjadi orang yang harum laksana bunga, terpuji dan tampan. Kata orang, amidenda ada pengaruh pula dari bahasa Inggris ”amid” yang berarti selalu berada di tengah-tengah dan endless yang diartikan sebagai hal yang abadi. Mungkin kakek dan nenek mengharapkan anaknya akan menjadi orang yang selalu bertindak bijaksana.

Sejak kecil kehidupan kami selalu rukun. Sampai dewasa, bahkan sampai nenek-nenek dan kakek-kakek tidak pernah ada perselisihan ataupun percekcokan. Perbedaan pendapat bisa saja terjadi, tapi perbedaan pendapat tidak pernah menjadikannya sumber perselisihan.

Kami merasa bangga orang tua kami bisa menghidupi kami meskipun tidak menjadikan kami sebagai orang-orang yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat, Kami juga merasa bangga karena memiliki ibu yang cantik dan memiliki ayah yang tampan.

Ungkapan di atas bukanlah ungkapan kesombongan, bukanlah ungkapan ria melainkan ungkapan rasa terimakasih kepada Allah yang Maha Besar, Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rachmatNya kepada kami sekeluarga sebagai orang yang penuh kebanggaan.

Sehari-hari, ibu menyediakan makanan yang sederhana tetapi memenuhi syarat sehat. Ibu biasanya menghidangkan dalam 14 piring yang disiapkan di atas meja sebelum kami pulang sekolah. Ini adalah pekerjaan ibu setiap hari yang terus berjalan bertahun-tahun. Tak terbayangkan betapa besarnya pengorbanan seorang ibu. Dalam keadaan darurat, kamipun diajari makan seadanya. Apabila tidak ada nasi, maka jagung, singkong dan ubi jalar serta berbagai dedaunan dimakan mentah atau direbus sebagai penggantinya.

Pendidikan semi feodal

Kalau berlibur seringkali mengunjungi nenek Nyi R. Ayu Bermaraningrat di Ciamis.

Dahulu, kota Ciamis adalah kota yang sepi. Apalagi setelah malam tiba. Lampu penerangan sangat terbatas. Apabila kita berjalan pada malam hari, lampu jalanan hanya terdapat pada setiap lima tiang listrik. Berjalan-jalan malam hari yang gelap hanya terkesan sepi dan menyeramkan.

Apabila malam tiba kita harus menyiapkan lampu semprong yang bahan bakarnya minyak tanah. Namun jangan kaget, apabila bangun tidur di pagi hari sekitar lubang hidung kita terlihat kotor berwarna kehitaman. Hal ini terjadi karena jelaga yang ditimbulkan lampu minyak tanah.

Sebagian besar rumah di Ciamis memiliki kolam ikan. Umumnya, rumah-rumah yang berdekatan dengan kolam tidak memiliki WC di dalam rumah untuk buang air. Buang air selalu dilakukan di kolam. Setiap buang air , ikan yang besar-besar berseliweran di sekitar kita. Kadang-kadang melompat sebelum isi perut jatuh ke kolam. Kadang-kadang kita geli karena lompatan ikan mengenai paha bawah kita.

Pada masa berkecamuknya gerombolan pengacau, menjelang malam hari kota Ciamis seolah kota mati.

Nenek masih memegang teguh sendi-sendi feodal. Untuk mendekati nenek, kita harus mengikuti kesopanan yang berlaku saat itu. Kita tidak boleh berdiri bebas dihadapan nenek.. Kita harus mendekat dengan cara menggeserkan siku kaki. Setelah mendekat, kedua tangan melakukan gerakan menyembah. Setelah bersalaman dengan nenek, kita melakukan gerakan mundur untuk duduk dalam posisi bersila. Setelah itu, kita bebas berbicara. Cara semacam itu, nampaknya dilakukan pula oleh keluarga Bung Karno terhadap ibundanya demikian pula keluarga Pak Harto terhadap ibu mertuanya.

Apabila ayah duduk di atas kursi, kita harus duduk bersila di bawah. Kita tidak boleh makan mendahului ayah. Apabila ayah makan, kita harus menunggu ayah selesai makan. Ini merupakan gambaran penghormatan kaum muda kepada orang tua saat itu dalam versi feodal.

Anti feodalisme merupakan salah satu bagian dari perjuangan bangsa Indonesia Padahal lingkungan kehidupan feodal keraton Yogyakarta telah berhasil melindungi dan menyelamatkan Bung Karno.

Pada saat Belanda menguasai Yogyakarta, nampaknya Tentara Belanda tidak mau menyerang keraton untuk menagkap Bung Karno. Tetapi Bung Karno sendirilah yang secara sukarela turun dari keraton untuk kemudian naik jeep tentara Belanda. Penangkapan oleh tentara Belanda ataupun penyerahan Bung Karno kepada Belanda tidak menampakkan keributan apapun juga di sekitar keraton. Nampaknya tentara Belanda maupun Bung Karno sangat menghormati keberadaan keraton Yogyakarta. Timbul pertanyaan dalam hati kecil penulis, feodalisme macam apa yang ditentang oleh Bung Karno. Bung Karno tidak pernah secara terperinci menjelaskan bagian mana saja dari feodalisme yang ditentang keberadaannya. Mungkin saja waktu itu ada sementara golongan feodal yang masih menginginkan status quo dari keberadaan penjajahan Belanda. Atau mungkin saja ada golongan feodal yang menginginkan bentuk negara Indonesia sebagai negara federal. Anti feodalisme ini mempengaruhi pula jiwa kaum muda feodal di Jawa Barat saat itu, antara lain dengan menanggalkan gelar raden.

Gambaran keluarga penulis

Penulis memiliki seorang istri bernama Dra.Eliza Syarief. Penulis adalah seniornya saat kuliah di Fakultas Sospol Universitas Padjadjaran. Kami menjalin pernikahan pada tanggal 31 Mei 1965. Dia lahir di Talu, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat tanggal 21 April 1944 dari seorang ayah bernama Mohammad Syarief gelar Sutan Lelo Maharajo dan ibu bernama Syamsiar.

Pada masa lalu, Talu adalah kerajaan yang pusat pemerintahannya berlokasi di Kampung Dalam atau Koto Dalam. Yang mula-mula jadi raja negeri Talu ialah Datuk Marajo Dirajo suku Jambak yang turun dari Kerajaan Pagaruyung.

Orang Minangkabau dikenal memiliki kebudayaan matriarchat. Kaum wanita dianggap sebagai pihak yang dapat menurunkan raja-raja. Wanitalah pewaris Sebaliknya orang Sunda atau orang Pajajaran memiliki kebudayaan patrarchat dimana laki-lakilah sebagai pewaris keturunan. Oleh karena itu, banyak orang Minangkabau berseloroh dengan mengatakan ”Pak Rachmat seluruh anak keturunannya baik wanita maupun laki mempunyai hak untuk menciptakan raja. Anak wanita dapat menurunkan raja karena matriarchat. Anak laki-lakinya dapat menjadi raja daerah Pajajaran karena orang Sunda yang patriarchat”. Selorohan ini penulis jawab ”Ini dapat terjadi dizaman impian, bukan zaman kenyataan ”.

Talu, sebuah kota Kecamatan di Kabupaten Pasaman Barat. Hawanya segar dan sejuk. Di sini terdapat sumber alami air panas. Kehidupan rakyatnya bertani, terutama sebagai penggarap sawah. Menanam padi hanya dilakukan satu kali setahun. Menurut mereka, hasilnya cukup untuk hidup satu tahun. Sehingga setelah panen, di Talu tidak banyak sawah yang ditanami palawija. Padahal air berlimpah. Mungkin saja hal ini karena ketiadaan pasar. Umumnya mereka mengatakan ”Untuk apa menanam kalau tidak ada yang beli”.

Keramaian kota Talu hanya terjadi dua kali dalam satu minggu, yaitu hari minggu dan hari Rabu. Hari-hari terebut adalah hari pasar. Hari-hari lainnya sepi.

Penduduknya jarang yang memiliki ternak besar seperti sapi, kerbau ataupun kambing. Bahkan hewan kambing boleh dikatakan tidak ada. Ayam yang ada adalah ayam kampung yang tidak secara khusus diternakkan..

Orang Talu sebagian besar mengembara . Umumnya mereka tidak kembali lagi hidup di kampung kelahirannya karena telah memperoleh kemajuan di rantau. Oleh karena itu Talu kurang menunjukkan kemajuan berarti.

Kendaraan melalui Talu cukup banyak. Tapi Talu hanya merupakan daerah lintasan transportasi baik bis maupun truk dari Aceh atau Medan ke Padang atau ke Pulau Jawa. Mungkin saja, apabila Talu menjadi tempat beristirahat para awak angkutan jarak jauh , wajah Talu akan sedikit berubah.

Dahulu negeri Talu terkenal sebagai salah satu pusat perjuangan menentang penjajahan. Orang Talu yang gigih memperjuangkan kemerdekaan antara lain H. Amran Tuanku Marajo yang beberapa kali keluar masuk penjara dan pernah pula dibuang ke Digul. Setelah kemerdekaan, oleh Pemerintah, beliau dinyatakan sebagai Perintis Kemerdekaan Indonesia. Orang Talu merasa bangga atas penghormatan pemerintah Indonesia ini kepada anak negerinya. Istri penulis adalah keponakan dari H. Amran Tuanku Marajo. Oleh karena itu dia sangat bangga memiliki paman seorang pahlawan negeri dengan julukan Perintis Kemerdekaan Indonesia.

Orang luar Talu yang cukup dikenal adalah Dr. Junjunan. Beliau berjuang melawan penyakit malaria yang saat tempo dulu berkecamuk di daerah Talu sampai Ujung Gading. Saat beliau bertugas, beliau tinggal di Talu di rumah ayah mertua. Dr. Junjunan boleh dikatakan sebagai teman akrab ayah mertua.

Mertua adalah seorang guru. Beliau diangkat menjadi salah seorang Kepala Sekolah di Talu sejak umur 13 tahun. Sungguh aneh tapi nyata, seorang anak kecil dapat menjadi Kepala Sekolah. Seorang anak kecil telah menjadi tokoh masyarakat yang disegani oleh guru-guru, oleh orang tua murid apalagi oleh para muridnya. Salah seorang anak muridnya adalah budayawan terkenal ”Selasih”.

Apakah mungkin masa kini dapat mencetak Kepala Sekolah pada umur yang demikian muda.

Penulis memiliki anak lima orang. Dua orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Nama-nama mereka adalah :

1. Faizal Emirza SE lahir tanggal 26 Juli 1966

2. Tommy Roza SE lahir tanggal 20 Maret 1968

3. Devy Rozanne SE lahir tanggal 15 Mret 1970

4. Dewy Hannawati SH. SpN lahir tanggal 15 Agustus 1973

5. Ria Rozaria Kusumawaty ST lahir tanggal 20 Januari 1976

Mereka semuanya telah berkeluarga. Dari mereka, penulis telah memiliki cucu sebanyak sebelas orang. Alhamdulillah. Mereka adalah rachmat Allah yang dititipkan kepada kami. Kepada kita semua.

Pendidikan terhadap anak-anak berjalan lebih demokratis.Tidak menerapkan sendi-sendi feodalisme. Hormat kepada orang yang lebih tua harus dijalankan sebagaimana layaknya anak harus menghormati Bapak atau adik harus menghormati kakak. Hubungan orang tua dan anak serta cucu-cucu sangat dekat, seolah hubungan pertemanan saja. Keharusan menjalankan kewajiban agama selalu ditekankan. Anak-anak maupun cucu-cucu, diminta agar kesemuanya tidak menyimpang dari keimanan dan aqidah agama yang dicontohkan Nabi Besar kita Muhammad SAW.

Masa serba sulit di Cugenang

Pada tahun 1940 sampai dengan tahun 1945 ayah menjabat sebagai Camat di Kecamatan Cugenang Pada akhir penjajahan Belanda kemudian zaman penjajahan Jepang dan masa perjuangan revolusi fisik, penulis berpindah-pindah tempat mengikuti orang tua mulai dari Palimanan, Cugenang kemudian Sukamanah, Cianjur, Sukabumi, Cilimus, Linggarjati, Klampok, Purwokerto, Cirebon.

Pada masa itu adalah masa pahit getirnya kehidupan. Masa yang penuh kecemasan menghadapi kejamnya penjajahan dan kejamnya perang. Pada masa itu boleh dikatakan sebagai masa yang penuh resiko hidup. Resiko korban kelaparan atau resiko korban perang. Tidak sedikit pula orang harus menghadapi korban penyakit karena kesulitan obat. Penyakit yang kadang berkecamuk misalnya TBC, malaria, cacar, typhus, disentri, cholera dan infeksi, umumnya hanya menunggu kematian karena kesulitan persediaan obat.

Salah seorang adik bernama Mohamad Aman mengalami kelumpuhan. Pengobatannya cukup unik. Setiap pagi, sejak subuh sampai matahari pagi bersinar, ibu menempatkannya pada hamparan rumput berembun. Secara menakjubkan, sang adik dapat berjalan normal sebagaimana anak-anak lainnya. Tapi yang paling menyedihkan, kakak ipar bernama Maulana mengalami infeksi pada lubang hidung. Pada masa kini, penyakit demikian adalah penyakit ringan. Namun pada saat penjajahan Jepang, penyakit demikian tak terobati. Salversan yang katanya sebagai obat mujarab ternyata tidak tersedia di rumah sakit. Akhirnya kematian menjemputnya. Maulana adalah suami kakak yang bernama Nyi R. Djuansah. Maulana adalah pejabat pada Sentral Listrik di Cugenang. Beliau berasal dari Klampok – Banjarnegara. Waktu ditinggal suami, Nyi R. Djuansah sedang hamil tua.

Kemudian, salah seorang uwa, kakaknya ibu yang bernama Salamah menderita penyakit TBC yang harus diisolasi dari keluarga. Beliau dirawat di Sanatorium Pacet. Tidak ada obat yang dapat menolongnya. Beliau wafat pada jaman pendudukan Jepang. Beliau adalah Nyi R. Siti Salamah yang bersuamikan Sunardiwiria.

Kesulitan lainnya adalah kesulitan sehari-hari. Kesulitan sehari-hari yang terasa adalah masalah penyediaan kayu bakar untuk memasak. Mencari kayu bakar adalah kewajiban mereka yang telah mampu mencarinya. Kalau tidak ada kayu bakar tentu kita tidak makan dan tidak minum.

Kesulitan lain adalah masalah kesulitan air yaitu persediaan air untuk minum, persediaan air untuk mandi maupun buang air. Untuk memenuhi persediaan air, kita harus berjalan cukup jauh ke sungai. Bahkan untuk persediaan air minum kita dibekali lodong (bambu) yang harus diisi air dari sungai.

Cugenang Zaman Belanda.

Pada zaman Belanda penulis berada di Kecamatan Cugenang, Cianjur. Pada waktu itu ayah adalah seorang Camat di Kecamatan Cugenang.

Cugenang adalah daerah yang sejuk, bersih dan nyaman. Bagi masyarakat Cugenang, zaman Belanda merupakan zaman aman, tenteram dan damai.

Penulis pernah menyaksikan kemeriahan pesta rakyat pada waktu ulang tahun Ratu Yuliana.. Pada masa penjajahan Belanda masyarakat Cugenang sangat menghormati keluarga Ratu Belanda.. Sebagai contoh, setiap ulang tahun Ratu Yuliana yang jatuh pada bulan Juli dirayakan oleh seluruh masyarakat Cugenang. Pada bulan Juli tahun 1941 penulis pernah menyaksikan pesta ulang tahun Ratu Yuliana. Pada waktu itu, delman dan pedati yang ditarik kuda atau pun gerobak kecil yang ditarik manusia turut meramaikan suasana. Kendaraan-kendaraan dihiasi daun-daunan dan buah-buahan serta berbagai jenis makanan lainnya. Siapapun yang mendekat dapat dengan mudah memetiknya dan memakan makanan yang disukainya.. Bunyi-bunyian yang ditabuh sangat meriah.

Masyarakat yang menonton benar-benar larut dalam kegembiraan.

Kata orang, zaman Belanda adalah Zaman normal.

Cugenang Zaman Jepang

Suasana yang semula sangat menyenangkan mulai berubah,

Tahun 1942 balatentara Jepang mendarat di Patrol, yaitu daerah pesisir utara Jawa Barat.

Serangan ini dilanjutkan ke berbagai daerah Serangan ke daerah Cianjur sekitar bulan Maret 1942. Apabila ada suara pesawat terbang di angkasa, kita harus menggigit karet pengaman gigi untuk mencegah gigi rontok akibat bom yang dijatuhkan. Kita juga harus berusaha mencari lubang-lubang perlindungan untuk menghindari serpihan-serpihan bom ataupun peluru-peluru yang ditembakkan.

Serangan ke daerah Cianjur didahului oleh serangan bom. Serangan bom ini mungkin dimaksudkan untuk melindungi serangan darat yang sedang dilakukan oleh pasukan tentara Jepang.. Serangan bom dimaksudkan juga untuk mematahkan mental para prajurit tentara Belanda agar tidak melakukan perlawanan

Serangan balatentara Jepang ke daerah Cianjur sudah diperkirakan sebelumnya. Ini terbukti bahwa setiap orang telah dibekali karet pengaman gigi yang harus selalu dipersiapkan guna menghadapi serangan bom. Selain dari pada itu, sudah pula dipersiapkan lubang-lubang perlindungan.

Suasana serangan seringkali mencekam dan menimbulkan kecemasan. Dari pihak Belanda tidak ada perlawanan apapun atas serangan Jepang ini.

Pada tanggal 25 Maret 1942 suara tembakan dari balatentara Jepang telah tidak terdengar lagi. Di luar terdengar orang berteriak ”aman.” Oleh karena itu masyarakat telah merasa aman untuk mulai ke luar rumah guna beraktivitas kembali. Pada saat itu, ibu melahirkan seorang bayi laki-laki. Terinspirasi oleh teriakan dan suasana aman, maka bayi tersebut dinamakan Mohamad Aman.

Pada masa pendudukan Jepang, banyak sekali larangan serta kewajiban yang dibebankan kepada rakyat Pada masa itu, rakyat dilarang memiliki radio dan dilarang mendengarkan radio.

Selama masa pendudukan Jepang suasana terus mencekam . Tidak jarang saya melihat pegawai Kecamatan yang disiksa tentara Jepang. ”Bagero” kata orang Jepang. Sebagai ungkapan kemarahan.

Rakyat diharuskan oleh Jepang untuk mencari semacam umbi-umbian (iles) yang harus dikumpulkan di Kecamatan. Selain dari pada itu rakyat diminta untuk mengumpulkan buah jarak.

Saat penjajahan Jepang, setiap sekolah melakukan upacara bendera Tiap pagi, sebelum masuk kelas, semua siswa berbaris untuk menyanyikan lagu kebangsaan Jepang ”Kimigayo” Cara hormat dilakukan dengan membungkukkan setengah badan. Seruan atau pekik yang diwajibkan untuk diucapkan adalah Banzai atau ”Tenno Heika Banzai”. Kata ini adalah bahasa Jepang. Mungkin kata-kata ini sebagai ucapan kesetiaan kepada Kaisar Jepang.. Ungkapan kemarahan biasanya dipakai oleh orang Jepang dengan ucapan ”Bagero”

Perjuangan Rakyat Cianjur.

Sudah sejak lama para tokoh perjuangan di Cianjur berusaha untuk mempersiapkan melawan penjajahan. Para pemuda sudah mulai membentuk rayon-rayon ”Gerakan Persiapan Kemerdekaamn Indonesia” . Di antaranya tercatat :

Cianjur Kota :

1. Bapak Yusup, Kepala Jawatan Pengairan Kabupaten Cianjur

2. Bapak Agus, Kepala Jawatan Kehutanan Kabupaten Cianjur

3. Bapak Hasyim Ning, Pengusaha Penggilingan Beras Bengawati

4. Bapak Kuswaya Harjakusuma, Pengusaha Penggilingan Beras Selaeurih.

5. Bapak Koko Suriapermana

Cianjur Utara :

1. Bapak Achmad Endang, Kepala Desa Gudang

2. Bapak Suhaya, pengusaha karet

3. Bapak Sirod, pengusaha karet

4. Bapak Jaah alias Gaos

5. Bapak Nudong Muchtar

6. Apih Cece

7. Bapak Martasasmita

8. Bapak Basar

9. Bapak Omi Adzhar

10. Bapak Roni

Cianjur Timur :

1. Bapak Muchtarman

2. Bapak Abdullah Jahid

3. Abah Kosim

4. Bapak Candra Permana

Cianjur Selatan :

1. Bapak Encun Basuni

2. Bapak H. Syamsudin

3. Bapak Kepala Pasar Cibeber

4. Bapak Taryo

5. Bapak H. Alimudin

Cianjur Barat

1. Bapak A. Sadikin

2. Bapak Cece Muchtar

3. Bapak Jafar

4. Bapak Oman Abdurahman

5. Bapak H. Basyuni

Pada masa penjajahan Jepang yaitu pada tahun 1943 bertempat di Pasirkalapa, Kecamatan Cibeber dibentuk tentara sukarela yang disebut Pembela Tanah Air (PETA) Pasukan PETA ini dibentuk dan dilatih oleh Bapak Kuswaya Harjakusuma serta Bapak Yunus Kartasutisna. Pasukan ini dipersiapkan sebagai alat vital revolusi. PETA dipersiapkan pula untuk melawan siapa saja yang menentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 7 September 1944 Dai Nippon mengumumkan janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun tentara Jepang di Cianjur terus mengawasi dan membatasi rakyat dalam berbagai hal, bahkan siaran radiopun disegel atau diblokir sehingga rakyat tidak dapat mendengar siaran radio. Padahal para pejuang Cianjur sangat memerlukan informasi mengenai perkembangan peperangan Asia Timur. Oleh karena itu dengan inisiatif sendiri Bapak Kuswaya Harjakusuma mendatangi Bapak Idris, Kepala Kantor Telepon Cianjur untuk meminta beberapa buah radio yang disegel oleh pemerintah Jepang agar dibuka. Bapak Idris berkenan menyerahkan tiga buah radio yang kemudian berhasil dibuka segelnya. Ketiga buah radio itu oleh para pejuang Cianjur ditempatkan di luar kota agar tidak tercium oleh pihak tentara Jepang maupun pihak lain yang menentang perjuangan kemerdekaan.

Pada pertengahan tahun 1945, bertempat di Selaeurih, digembleng sebanyak kurang lebih 50 pemuda terampil sebagai ”Pelopor Gerakan Persiapan Kemerdekaan Indonesia” yang diasuh oleh Bapak Gatot Mangkupraja dan Bapak Kuswaya Harjakusumah.. Dengan dibukanya tiga segel pesawat radio, maka Gerakan Persiapan Kemerdekaan dapat terus mengikuti perkembangan peperangan Asia Timur Raya. Berita peperangan yang disampaikan oleh pihak Jepang umumnya hanya mendengungkan kemenangan saja. Namun pada suatu malam hari Rabu tanggal 15 Agustus 1945 , di Selaeurih para pejuang dapat mendeteksi siaran radio dari luar negeri yang memberitakan bahwa Hirosyima dan Nagasaki di bom oleh Sekutu. Dai Nippon bertekuk lutut tanpa syarat. Dalam siaran itu diberitakan pula bahwa tentara Jepang yang berada di daerah pendudukan hanya berfungsi sebagai polisi penjaga keamanan saja

Para pimpinan perjuangan kemerdekaan di Cianjur segera mengadakan pembicaraan rahasia yang keputusannya antara lain :

a. Bagaimanapun kita harus merebut sendiri kemerdekaan Indonesia.

b. Rakyat harus sudah bersiap-siap dan memulai dengan gerakan di bawah tanah untuk mencari dan mnyembunyikan senjata.

c. Siapkan bendera merah putih sebanyak-banyaknya dan mulai tanggal 16 Agustus 1945 Cianjur harus berani mengibarkannya untuk meledakkan semangat perjuangan kemerdekaan

d. Sebarkan berita bahwa Jepang sudah menyerah tanpa syarat.

Terdorong oleh kemauan hati yang menyala-nyala para pimpinan perjuangan kemerdekaan dan anggota Pelopor Gerakan Persiapan Kemerdekaan di Cianjur nampak sangat sibuk sekali menyebar luaskan perihal di atas, baik melalui telepon, kurir maupun orang-orang yang mengetuk pintu dari rumah ke rumah .

Pada tanggal 16 Agustus 1945 kira-kira jam 6 pagi, Bapak Kuswaya Harjakusuma mendatangi Bapak Yunus Subiadibrata memberitahukan bahwa Dai Nippon telah bertekuk lutut tanpa syarat. Tentara Jepang di Cianjur hanya berfungsi sebagai polisi. Oleh karena itu terdapat kekosongan pemerintahan sedangkan rakyat memerlukan perlindungan, rakyat memerlukan pembinaan agar tidak terpecah belah. Bapak Yunus Subiadibrata memperoleh informasi bahwa di daerah Lemah Abang dan Cibarusah terjadi kekacauan keamanan yang menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyembelihan sesama rakyat. Hal ini diperkirakan karena adanya kelompok-kelompok pejuang yang saling bersaing. Oleh karena itu, Bapak Yunus Subiadibrata memberanikan diri menghadap Sidokang Kaisatsu (penguasa Jepang) di Cianjur guna memberitahukan maksudnya untuk mengibarkan bendera merah putih sebagai lambang kemerdekaan Indonesia. Hal ini beliau maksudkan untuk mencegah adanya persaingan antar kelompok yang sangat membahayakan keamanan rakyat. Pihak Jepang nampaknya tidak berkeberatan. Oleh karena itu pada hari itu juga tanggal 16 Agustus 1945 jam 7.30 Bapak Yunus Subiadibrata memberanikan diri untuk melakukan upacara bendera di halaman upacara Kantor Polisi Cianjur (saat ini adalah kantor KORES 824 Cianjur) dihadapan Sidokang Kaisatsu Jepang. Nampaknya pihak Jepang membiarkan saja hal ini terjadi.

Pada hari itu juga, di rumah-rumah para pimpinan pejuang kemerdekaan di daerah Joglo, Bojongherang, Cibeber dan Cikalong, di penggilingan beras Bengawati dan penggilingan beras Selaeurih telah mulai dikibarkan bendera sang marah putih. Selanjutnya Bapak Kuswaya Harjakusuma, Bapak Iding, Bapak Toyib Chartono dengan menggunakan kendaraan pinjaman dari Bapak Koko Suriapermana meluncur ke Sukabumi mendatangi Bapak Abdulgani, kemudian ke Pacet menemui Kepala Polisi setempat, kemudian menuju Priangan Timur untuk menemui Bapak Abubakar di Pangandaran serta beberapa tokoh di Ciamis. Perjalanan ini adalah untuk memberitakan kejadian kekalahan perang Jepang serta pengibaran merah putih tanggal 16 Agustus 1945 di Cianjur

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno mengumandangkan proklamasi. Rakyat Cianjur menyambutnya dengan antusias dengan memasang bendera merah putih.

Pembentukan BKR, TKR, TNI di daerah Kabupaten Cianjur

Pada tanggal 23 Agustus 1945 Bung Karno menyerukan supaya para pemuda memasuki Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dengan tugas memelihara keamanan dan ketertiban umum di bawah koordinasi Komite Nasional Indonesia. Di Cianjur, para pemuda menerima baik seruan Bung Karno itu. Oleh karena itu diperintahkan untuk membubarkan PETA. Bapak Yunus Kartasutisna dan Bapak Kuswaya Harjakusuma, sebagai pimpinan PETA mengikuti perintah membubarkan PETA tersebut. Kemudian pada tanggal 30 Agustus 1945 Bapak Yunus Kartasutisna membentuk barisan yang terdiri dari 70 orang pemuda Cibeber dengan nama Barisan Keamanan Rakyat (BKR).

Pada tanggal 12 September 1945, Komite Nasuional Cianjur di bawah pimpinan Bapak Kuswaya Harjakusuma dan Bapak Yunus Subiadibrata sebagai Kepala Polisi Cianjur, meminta Bapak Yunus Kartasutisna untuk membentuk suatu barisan dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kuat dengan kekuatan satu batalion. Dalam waktu singkat beliau telah dapat mengumpulkan dan memanggil 650 orang pemuda.

Berkat keuletan Bapak Dokter Hasan Sadikin, ex dokter PETA, beliau melakukan seleksi kesehatan sehingga dapat diperoleh pasukan yang kuat-kuat dan sehat-sehat.

Pada tanggal 5 Oktober 1945 pasukan tersebut dilantik dan diresmikan menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dimana Bapak Yunus Kartasutisna diangkat sebagai komandan batalion dengan pangkat mayor.

Mengenai persenjataan, TKR memperoleh kekuatan dari PETA berupa 7 revolver parabelum, 4 buah samurai dan beberapa buah granat. Sedangkan dari bantuan Kepolisian Cianjur berupa 12 karabijn, dan dari rakyat terdapat beberapa puluh golok dan pisau serta ratusan bambu runcing.

Berdasarkan perkembangan selamjutmya, pada tanggal 25 Januari 1946 Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dirobah dan diresmikan menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Persiapan menghadapi agresi Tentara Sekutu.

Sejak sebelum proklamasi kemerdekaan para pejuang telah membentuk kelompok-kelompok pejuang yang semula bernama Pelopor Geralan Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang kemudian menjadi PETA, dan sesudah proklamasi kemudian menjadi BKR. Disamping kelompok pejuamg di atas banyak pula pemuda dengan inisiatip sendiri membentuk kelompok perjuangan sendiri. Di daerah Sukamanah terdapat pula kelompok yang melatih diri dengan semacam ilmu debus agar tahan peluru naupun tahan bacokan musuh. Mereka semuanya melakukan persiapan untuk melakukan perlawanan apabila agresi dari pihak Sekutu menyerang daerah Cianjur.

Pada suatu hari, ada usaha dari para pemuda untuk mencari senjata. Untuk maksud tersebut Bapak Kuswaya Harjakusuma memobilisir para kiayi dari Karangtengah, Maleber, Cilaku, Cibaregbeg, Grogol, Warungkondang dan lain-lain. Mereka bersama-sama mengepung Markas Tentara Jepang di Joglo. Sementara itu, Bapak Kuswaya Harjakusuma bersama Bapak Yunus Subiadi brata melakukan perundingan dengan beberapa perwira tentara Jepang untuk memperoleh senjata. Dari hasil perundingan ini, diperoleh beberapa buah pucuk senjata karabijn dan pistol.

Kemudian di Cikalong para pemuda melakukan aksi yang sama dipimpin oleh Bapak Kalip R.Saleh yang berhasil pula memperoleh beberapa pucuk senjata karabijn dan beberapa buah granat tangan.

Di Cikaret lebih kurang 150 m dari jalan besar ditempatkan wisselbord telepon yang dapat menyadap semua line telepon Jakarta-Bandung sehingga para pejuang dapat mendengarkan setiap pembicaraan telepon.dari manapun dan dari siapapun .

Di Cimacan para pemuda dipimpin oleh Bapak Muhammad Zen berhasil merampas sebuah truk besar dan sebuah sedan yang penuh muatan obat-obatan dan pakaian yang dinaiki 8 orang tentara Belanda. Truk terasebut dibawa oleh Bapak Koko Suriapermana ke Kantor Polisi Cianjur. Setelah diadakan pemeriksaan yang teliti ditemukan di bawah barang-barang itu terdapat beberapa pucuk senjata api. Ke delapan tentara Belanda itu dimasukkan ke penjara sebagai titipan para pemuda.

Dalam usaha memperkuat perjuangan, para pemuda pejuang ingin membebaskan para tahanan politik yang dipenjarakan oleh Jepang. Oleh karena itu para pejuang menyerang penjara Cianjur. Mereka membebaskan para politikus yang dijebloskan Jepang. Sedangkan ke delapan tentara Belanda yang statusnya sebagai titipan para pemuda terpaksa dibunuh karena melawan

Serangan Tentara Sekutu / Inggris/ Gurka.

Setelah Indonesia merdeka, penulis pindah ke Sukamanah. Letak Sukamanah tidak begitu jauh dari Cugenang .

Pada suatu pagi, seorang tentara Inggris datang ke rumah berbicara dengan ayah. Karena ayah kurang fasih berbicara bahasa Inggris, maka ayah mencari penterjemah yang kebetulan rumahnya tidak berapa jauh. Rumahnya berdekatan dengan mesjid Sukamanah. Pembicaraan mereka tidak kami ketahui. Namun tanpa disangka suasana mencekam karena tiba-tiba ada konvoi tentara Gurka. Konvoi tantara Gurka terjadi kira-kira akhir tahun 1945.

Gurka adalah bagian dari tentara Inggris yang merupakan tentara Sekutu. Gurka adalah suku bangsa Nepal yang direkrut Inggris sebagai tentara bayaran. Orang Gurka kulitnya berwarna hitam keabuan. Matanya tajam . Sangat menakutkan.

Tentara Inggris ini merupakan bagian dari tentara Sekutu yang diboncengi ten tara Belanda yang berencana menguasai kembali Indonesia. Oleh karena itu para pejuang Cianjur berusaha menyerang mereka dengan sekuat tenaga.

Untuk meenghadapinya para pemuda pejuang Cianjur telah mempersiapkan diri.

Pesawat Sekutu beberapa kali terbang di atas kota Cianjur menyebarkan pamflet yang berisi ancaman agar para pejuang menyerahkan diri. Namun para pejuang tetap melakukan perlawanan.

Untuk mencegah makin meluasnya pertempuran, Bapak Kuswaya Harjakusuma bersama Bapak Yunus Subiadibrata menghadap seorang Jenderal tentara Sekutu di Villa Sangrilla di Ciloto untuk meminta agar tentara Sekutu meninggalkan Cianjur dan jangan membangkitkan amarah rakyat. Namun tentara sekutu yang diboncengi tentara Belanda terus saja melakukan konvoi melewati Cianjur sehingga amarah rakyat Cianjur terus melawan mereka.

Di Ciranjang pejuang berhasil menembak sebuah pesawat terbang musuh yang jatuh menimpa kantor dan pendopo Kewedanaan hingga timbul kebakaran dan semua awaknya tewas terbakar.

Di Cipeuyeum para pemuda memasang beberapa buah bom batok di jalanan . Kemudian mereka bertempur dengan konvoi yang datang dari Bandung. Dalam pertempuran ini para pejuang berhasil memukul mundur tentara Sukutu seraya meninggalkan beberapa mayat dan 5 pucuk senjata api.

Di Warungkondang para pemuda bekerjasama dengan pejuang dari Sukaraja - Sukabumi berhasil menghadang konvoi tentara Sekutu kemudian merampas beberapa rol kabel telepon dan perlengkapan militer lainnya.

Mengungsi ke Pasir Badog - Cianjur.

Setelah kekalahan Jepang dan kemudian di Cianjur terjadi pengibaran sang merah putih oleh Bapak Yunus Subiadibrata di halaman upacara Kantor Polisi Cianjur pada tanggal 16 Agustus 1945. Kemudian disusul proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 namun kegentingan suasana Cianjur terus terjadi. Tentara Sekutu memasuki Indonesia dengan diboncengi tentara Belanda yang bermaksud untuk menjajah kembali Indonesia..

Tentara Sekutu yang menuju Cianjur adalah adalah tentara Inggris yang dimotori oleh pasukan Gurka.. Pasukan Gurka merupakan tentara bayaran pasukan dari suku bangsa Nepal. Orang Gurka memiliki postur tubuh tinggi, kulit hitam keabuan serta matanya yang tajam menakutkan. Selanjutnya ayah mendapat laporan dari masyarakat bahwa tentara Gurka telah melakukan perkosaan. Oleh karena itu ibu merasa hawatir, sehingga terpaksa mempertimbangkan untuk mengungsi ke Pasir Badog.

Pasir Badog adalah hutan yang berada di kaki gunung Geulis Cianjur.

Peranan pedesaan yang luar biasa

Pada awal-awal revolusi banyak orang kota yang mencari perlindungan dalam menghadapi resiko perang yang sedang berkecamuk. Perang umumnya terjadi diperkotaan atau disekitar jalan raya. Orang-orang kota banyak yang berusaha menjauhi peperangan dengan melakukan pengungsian ke pedesaan. Pedesaan dianggap aman. Bukan hanya untuk pengungsi dari perkotaan namun para pejuangpun merasa aman di pedesaan. Oleh karena itu para pejuang memusatkan pasukannya di daerah-daerah pedesaan.

Pada saat tentara Sekutu memasuki daerah Cianjur, kami mengungsi ke daerah Pasir Badog. Memasuki perkampungan Pasir Badog, kita harus melewati hutan yang cukup lebat. Pohon-pohon bambu yang sangat rimbun yang selalu berbunyi karena gesekan ditiup angin. Gerakan bajing yang melompat di atas pepohonan, serta kadal yang berlari-lari pada rimbunan dedaunan di bawah, ditambah pula ular yang merayap dengan cepat di kejauhan Sungguh menakutkan. Sungguh mengerikan untuk mencapai perkampungan.

Sesampai di perkampungan kami merasa lega, Kami disambut orang desa dengan ramah. Mereka menyambutnya dengan sukarela. Luar biasa sambutan orang desa. Mereka menyediakan rumah yang layak untuk dihuni. Bukan saja kami yang disambut. Para pejuang yang melewati perkampunganpun selalu disambut dengan hangat, baik dan sopan. Para pejuang dijamu, ditawari makan dan minum oleh orang desa. Sambutan orang desa nampaknya bukan basa basi. Orang desa menyadari untuk ikut membantu menyelamatkan para pengungsi dari kota. Orang desa menyadari bahwa perang kemerdekaan adalah perang untuk mencapai kemakmuran di masa datang. Oleh karena itu perlawanan para pejuang kemerdekaan memperoleh bantuan sepenuhnya dari orang desa.

Di perkampungan Pasir Badog ini pada tanggal 23-3-1946 Kakak yang bernama Nyi R. Djuansah melahirkan seoang bayi yang kemudian diberinama Isye Kriniati

Mungkin Pasir Badog hanyalah gambaran kecil dari pedesaan yang tersrebar di seluruh negeri. Menurut ceritera ayah, hal semacam juga dirasakan beliau di daerah kaki gunung Ciremai yaitu daerah Kabupaten Kuningan dan Majalengka.

Orang pedesaan banyak yang secara sukarela ikut dan direkrut menjadi tentara pejuang. Mereka bersama-sama melakukan perlawanan bersenjata.

Dari segi lain, para pejuang banyak pula yang memperoleh jodoh di pedesaan.

Sungguh luar biasa. Pedesaan adalah tulang punggung revolusi fisik yang berjuang membantu bangsa memperoleh kemerdekaan.

Mungkin saat ini Pasir Badog telah memperoleh kemajuan namun bagaimana daerah pedesaan lain.

Mengungsi ke Sukabumi

Dalam situasi yang tidak menentu, ayah tetap menjalankan tugasnya sebagai Camat di Kecamatan Cugenang. Tapi tidak lama kemudian, ada berita bahwa ayah dialih tugaskan sebagai Wedana Ciawi Bagor. Oleh karena itu, seluruh keluarga harus meninggalkan Pasir Badog dan Sukamanah untuk mengungsi ke tempat lain.

Pada suatu hari, karena situasi dianggap genting ibu menyarankan agar segera menjauh dari Pasir Badog dan Sukamanah untuk pergi ke Cianjur menyeberangi dan menyusuri sungai di belakang Pabrik Beras Bengawati. Ibu menyarankan untuk tidak menggunakan jalan raya karena konvoi tentara Gurka terus berjalan sedangkan para pejuang Cianjur seringkali melakukan perlawanan. Ibu menyarankan agar menuju salah seorang famili di Cianjur dan dari Cianjur harus segera menuju Sukabumi sebagai tempat mengungsi yang baru.

Saran ibu kami jalankan. Kami berjalan menyeberangi dan menyusuri sungai sehingga tidak berapa lama sampai di Cianjur. Sesampai di Cianjur, kami beristirahat sejenak untuk makan Setelah selesai makan kami bergegas untuk berangkat menuju Sukabumi. Untuk menuju Sukabumi, kami tidak menggunakan kendaraan yang layaknya biasa digunakan orang. Kami menuju Sukabumi menggunakan gerobak barang yang ditarik kuda.

Serangan tentara Gurka di Cianjur nampaknya belum dilanjutkan ke arah Sukabumi . Sehingga kota Sukabumi merupakan kota yang aman karena kota Sukabumi belum diduduki oleh tentara asing. Menurut informasi, serangan ke daerah Sukabumi dilakukan tentara Inggris dari arah Bogor. Namun menurut cerita, pasukan asing tertahan di Kampung Bojong Kokosan daerah Cicurug Bahkan menurut Bapak Jendral Kosasih korban di pihak tentara Inggris di Bojong Kokosan lebih besar dari pada korban perang 10 Nopember di Surabaya.Oleh karena itu tentara asing tidak dapat memasuki kota Sukabumi..

Kami mengungsi ke Sukabumi sebagai tempat yang aman dan tidak jauh dari Bogor.

Namun kecemasan kembali terjadi. Pesawat terbang pasukan asing beberapa kali mengitari kota Sukabumi menurunkan pamflet yang berisi peringatan kepada rakyat Sukabumi..

Kami khwatir kota Sukabumi akan diserang pasukan asing. Biasanya gerakan pasukan asimg akan didahului oleh serangan bom. Berdasarkan pengalaman sewaktu di Cugenang, serangan bom sangat menakutkan. Oleh karena itu daerah Sukabumi dianggap tidak lagi sebagai daerah aman..

Cianjur diduduki Belanda .

Kekuatan persenjataan tentara Sekutu jauh lebih baik dari persenjataan para pejuang Cianjur . Sehingga tentara Sekutu berhasil mendudukkan kembali tentara Belanda menjadi penguasa di Cianjur.

Ketika Cianjur dikuasai kembali oleh Belanda, Tentara Belanda selalu berusaha untuk dapat menangkap para pejuang yang melakukan pembunuhan ke dalapan tahanan Belanda. Tentara Belanda terus mencari pemimpin-pemimpin perjuangan untuk dimintai pertanggung jawabannya. Dengan bantuan para penghianat bangsa, ke 13 pembunuh ditemukan dan kemudian dijebloskan ke penjara. Ke 13 pejuang yang ditangkap tentara Belanda itu, adalah :

  1. Bapak Kuswaya Harjakusuma, yang dianggap sebagai pelaku utama.
  2. Bapak Endang Achmad
  3. Abah Kosim
  4. Bapak Cacih
  5. Bapak Ro’if
  6. Bapak Hamid
  7. Bapak H. Mustopa
  8. Bapak Suhaya
  9. Bapak Sirod
  10. Omo Momo
  11. Bapak Icih Sanusi
  12. Bapak Machdar
  13. Bapak Mamad

Mereka meringkuk dalam penjara selama lebih kurang 1,5 tahun. Sebenarnya mereka tercatat dalam papan tulis akan segera dihukum mati. Namun berkat keberanian Jaksa Sulaeman ke 13 orang tahanan itu segera dibebaskan dengan surat amnesti tertanggal 8 Desember 1949 tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemerintahan Belanda di Jakarta.

Mas dan berlian di Kantor Wedana Ciawi Bogor

Pada masa pendudukan Jepang, banyak orang yang berceritera bahwa tentara Jepang mewajibkan rakyat untuk menyerahkan perhiasan guna membantu biaya perang mereka. Hal ini memang terbukti karena ayah pernah berceritera bahwa pada saat ayah menempati Kawedanaan Ciawi, beliau menemukan bermacam-macam perhiasan, berupa mas dan berlian yang tersimpan dalam sebuah kotak / pundi. Pundi ini nampaknya ditinggalkan begitu saja oleh Wedana terdahulu.

Saat ayah baru saja menjabat sebagai Wedana Ciawi, ternyata Kota Bogor telah dikuasai tentara asing. Oleh karena itu, daerah Ciawi merupakan daerah yang tidak lagi aman. Ayah memutuskan untuk meninggalkan Ciawi bergabung sebagai tentara pejuang di Cirebon. Pundi berisi mas berlianpun ditinggalkan begitu saja seperti halnya yang dilakukan Wedana terdahulu.

Kranji – Bekasi .

Kira-kira pertengahan tahun 1946 ayah telah lebih dahulu berada di Cirebon. Oleh karena itu kami mulai bergegas untuk mengungsi ke Cirebon. Perjalanan dari Sukabumi ke Cirebon dilakukan menggunakan kareta api. Dari Sukabumi perjalanan dilakukan terlebih dahulu menuju Jakarta.. Kami turun di stasiun Gambir. Ternyata Kota Jakarta. telah dikuasai tentara Belanda. Semua orang dewasa yang turun dari kereta diwajibkan berbaris untuk dilakukan pemeriksaan dan penggeledahan badan. . Semua benda yang dianggap berbahaya serta benda yang dianggap lambang kesetiaan kepada negara Indonesia dirampas.

Di Jakarta kami menginap satu malam.di Pejambon. Tempat ini sekarang sebagai kantor Deplu.. Tempat ini nampaknya sebagai tempat penampungan pengungsi yang akan menuju daerah lain. Tempat ini sangat penuh. Kamar mandi dan WC terbatas dan sangat kotor

Keesokan harinya, kami bergegas menuju stasiun Gambir untuk melakukan perjalanan ke Cirebon.

Kereta api yang ditumpangi cukup padat. Diperkirakan semua penumpang adalah pengungsi kearah timur. Di perjalanan, mulai daerah Kranji dan Bekasi , kereta api berjalan lambat.. Banyak para pejuang yang mendekat kearah kereta untuk meminta koran sebagai sumber berita..Kami heran tapi juga kami bangga karena suasana semacam ini belum pernah kami melihatnya. Kami bangga banyak sekali pejuang yang berada di sekitar perjalanan kereta api. Ada yang bersenjata, ada pula yang hanya bambu runcing. Ini membangkitkan rasa aman kami di perjalanan . Di sini pekik ”merdeka” mulai kami dengar.jelas. Pekik ”merdeka” nampaknya menggugah mereka untuk berjuang. Pekik ”merdeka” nampaknya melambangkan kesamaan jiwa dan kesamaan tekad.. Pekik ”merdeka” juga melambangkan rela berkorban. Semua ini disimpulkan setelah melihat raut wajah yang nampaknya penuh keyakinan meskipun harus berkorban.

Gambaran perjuangan Kranji dan Bekasi ini pernah diangkat oleh Pramudya Ananta Tur dalam sebuah novel yang berjudul ”Kranji Dan Bekasi Jatuh”.

Mengungsi ke Cirebon

Penulis lahir di Sukabumi. Namun saat itu ayah adalah Camat Palimanan – Cirebon. Sejak tahun 1940 kami tinggal di Cugenang karena ayah dialihtugaskan sebagai Camat Cugenang . Setelah proklamasi kemerdekaan, ayah dialihtugaskan sebagai Wedana Ciawi – Bogor sedangkan kami tinggal di Sukabumi.

Kemenangan Sekutu dalam perang Asia Timur atau Perang Dunia ke II, menempatkan tentara Jepang hanya sebagai polisi. Oleh karena itu, Sekutu menugaskan pasukan Inggris untuk memasuki Indonesia. Tentara Inggris sebagai bagian dari Sekutu memasuki Indonesia dengan diboncengi tentara Belanda yang bermaksud menjajah kembali Indonesia. Dalam usaha menduduki Sukabumi, tentara Sekutu melakukan provokasi dengan menebarkan pamflet dari udara. Oleh karena itu kami merasa tidak aman untuk tinggal di kota Sukabumi Ayah yang saat itu menjabat sebagai Wedana Ciawi menganggap lebih baik meninggalkan jabatannya untuk segera bergabung dengan para pejuang kemerdekaan di Cirebon.

Karena daerah Sukabumi tidak aman, kami mempertimbangkan untuk mengungsi ke Cirebon sebagai kota yang dianggap aman karena belum diduduki tentara asing.

Ayah telah lebih dahulu meninggalkan Sukabumi untuk bergabung sebagai tentara pejuang di daerah Cirebon.

Suasana perjuangan di sepanjang perjalanan sangat terasa. Mulai dari Kranji, Bekasi dan seterusnya menunjukkan adanya kegiatan perlawanan.

Tiba di Cirebon kami disambut ayah yang telah terlebih dahulu berada di Cirebon. Kemudian beliau menempatkan kami di salah satu penginapan.

Udara Cirebon sangat berbeda dengan daerah Cianjur atau Sukabumi. Udaranya panas. Di Cirebon penulis sering dibawa berjalan ke berbagai tempat. Karena udara panas yang menyengat perjalanan rasanya melelahkan. dan tidak nyaman..

Kaki tidak bersepatu, tidak pula bersandal. Karena panas terik, jalan aspal menjadi lunak . Kalau berdiri atau berjalan di jalan aspal, jalan aspal akan terlihat tercetak oleh telapak kaki. Bayangkan, bagaimana panasnya kota Cirebon.

Bung Karno menggelorakan jiwa rakyat Cirebon

. Pada suatu hari penulis dibawa ayah ke lapangan sepak bola yang luas. Lapangan Gunung Sari. Di situ telah banyak orang berkumpul. Tapi masih banyak juga orang yang berbondong-bondong datang ke arah lapangan. Meskipun masyarakat sangat banyak, namun suasana tertib.

Tak lama kemudian, penulis melihat sosok Bung Karno yang tidak pernah penulis tahu dan tidak pernah penulis lihat sebelumnya. Sosok tubuh Bung Karno dengan gagah menaiki kuda bersepatu lars tinggi berwarna hitam. Dia disambut rakyat dengan pekik ”merdeka”. Pekik ”merdeka” ini terus berkumandang tanpa henti, sampai Bung Karno berdiri di atas podium. Saat telah berdiri di atas podium, suasana hening dan khidmat. Seluruh rakyat berdiri tegap mnenyanyikan lagu ”Indonesia Raya”. Kemudian beliau berpidato. Penulis tidak mengerti apa yang diucapkannya. Di samping itu apa yang diucapkannyapun tidak jelas, karena kwalitas pengeras suaru yang kurang baik. Suaranyapun seolah hilang ditelan angin. Meskipun demikian, gerakan tubuhnya, gerakan tangan kanannya serta gerakan jari telunjuknya yang selalu digunakan ditambah gerakan bola matanya menunjukkan bahwa pidatonya sangat berapi-api. Sangat menggugah jiwa. Semua orang terkesima melihatnya. Kedatangan Bung Karno ini menyisakan gelora perjuangan yang selalu diselingi teriakan ”merdeka”.

Setelah berpidato, dia turun dan kembali menaiki kuda mengelilingi masyarakat yang hadir di sekeliling lapangan Tangan kanannya selalu mengepal keatas dengan teriakan ”merdeka” Teriakan ”merdeka” disambut oleh rakyat tiada henti sampai beliau meninggalkan tempat upacara.

Cilimus, Linggarjati, Klampok, Purwokerta

Kami tidak lama tinggal di Cirebon. Ayah ditugaskan di Linggarjati tetapi keluarga ditempatkan di Cilimus. Ayah berpangkat Kapten pada pasukan Polisi Tentara (PT) .

Cilimus adalah kota kecil. Udaranya segar. Di jalan utama terdapat pertokoan serta pasar, oleh karena itu pada pagi hari kotanya cukup ramai.

Cilimus adalah kota Kawedanaan. Di depan Kawedanaan terdapat lapangan yang cukup luas. Mesjidnya cukup besar menghadap lapangan. Di pinggir lapangan terdapat pohon besar yang rindang sehingga orang dapat berteduh. Di bawah pohon itu, hampir setiap hari terdapat tukang obat yang menawarkan berbagai macam obat-obatan. Tukang obat biasanya mempertontonkan pula keahliannya sebagai tukang sulap. Oleh karena itu orang selalu berkerumun sekitar tukang obat. Hampir setiap jam pulang sekolah penulis selalu menyempatkan diri untuk berjongkok dihadapannya. Penonton merasa kagum karena tukang obat dapat menegakkan keris yang dapat berdiri menopang benda yang disimpan di atasnya. Setelah saat lohor, kota Cilimus mulai berangsur sepi. Para pemuda dan anak-anak biasanya berkumpul di sekitar lapangan. Kota Cilimus adalah kota yang aman dan tenteram. Namun semua menyadari bahwa situasi perang kemerdekaan masih berkecamuk di daerah lain. Oleh karena itu, kegiatan berkumpul di sekitar lapangan kadang dimanfaatkan pula untuk melatih diri dalam menghadapi peperangan. Pemuda dan anak-anak melakukan latihan baris - berbaris dan menabuh tambur (drum). Pemuda dan anak-anak dilatih bergerak tiarap untuk melindungi diri dari tembakan peluru. Dilatih untuk berlari zigzag serta untuk segera memasuki parit apabila terjadi tembak menembak.

Pada sore hari menjelang asar, kami telah berada di rumah untuk mandi dan mempersiapkan guna menjalani pendidikan agama di Madrasah.

Ada kejadian yang sangat menginspirasi jalan pikiran dan perasaan penulis ketika di Cilimus. Saat itu di Cilimus ada seorang wanita separu baya membawa anaknya kira-kira umur 3 tahun. Wanita itu dianggap sebagai orang gila. Wanita itu berteriak-teriak sedang berusaha menghindari lemparan batu dari orang-orang yang tidak menyenanginya. Kakak penulis yang bernama Slamet mengatakan ”Astaghfirullah. Dia adalah manusia seperti kita juga”. Kalimat yang diucapkan kakak membuka hati penulis. Hati penulis sangat terenyuh melihat peristiwa itu. Sejak itulah penulis berfikir ingin sekali menjadi orang yang dapat menyembuhkan orang gila.

Ayah bermarkas di Linggarjati. Ayah memperoleh rumah dinas di Linggarjati. Rumahnya cukup besar. Rumah ini semacam bungalow. Rumah ini tidak menghadap jalan raya tetapi menghadap ke arah gunung Ciremai. Mungkin rumah ini diciptakan untuk menikmati pemandangan indahnya gunung Ciremai. Di seberang rumah terdapat pabrik senjata yang menurut informasi pabrik ini terutama memproduksi alat peledak antara lain granat sehingga dikenal sebagai pabrik granat. Selang tiga rumah terdapat sebuah gedung yang cukup besar. Kata orang, gedung itu sering digunakan Bapak Sutan Syahrir, apabila beliau berkenan beristirahat di daerah Kuningan. Rumah kami di Linggarjati memiliki fasilitas listrik yang sangat minim. Tiap menjelang malam, kami mempersiapkan lampu yang dibuat dari sumbu sobekan kain yang disembulkan pada sebuah lubang uang logam. Bahan bakar lampu adalah minyak kelapa. Selain dari pada itu, dinyalakan pula lampu semprong yang bahan bakarnya dari minyak tanah. Rumah besar yang gelap menyebabkan perasaan seram apalagi apabila perlu buang air di malam hari.

Linggarjati adalah daerah pedesaan yang sangat sepi. Tidak ada keramaian apapun juga. Rumah berjauhan Gedung-gedung umumnya tidak berpenghuni. Tidak ada kawan bermain.

Tidak begitu lama kami tinggal di Linggarjati. Ayah ditugaskan untuk pindah ke Klampok.

Sejak pagi kami mengemas barang-barang pindahan. Padahal perjalanan akan dilakukan malam hari. Pada sore hari, truk yang akan ditumpangi telah tiba. Semua barang segera diangkat ke atas truk.

Pada malam hari, setelah melewati saat magrib, kami bergegas menaiki sebuah truk militer yang membawa kami ke Klampok.Tentara Belanda sering melakukan pengintaian udara. Oleh karena itu, kepergian ke Klampok dilakukan pada malam hari guna mencegah adanya anggapan pergerakan militer oleh musuh. Karena perjalanan di malam hari, penulis tidak dapat melihat suasana di perjalanan.

Di Klampok, kami ditempatkan di sebuah rumah dalam komplex militer. Di komplex militer ini tidak banyak keluarga yang tinggal oleh karena itu tidak ada kawan bermain. Komplex militer ini cukup besar. Bapak Jenderal Sudirman sering pula berada di sini.

Klampok adalah daerah pertanian yang nampaknya subur. Sawah terhampar luas. Irigasinya cukup baik. Kita bisa melihat anak-anak yang bersenang-senang bermain di sungai-sungai irigasi menangkap lele. Wanitanya umumnya melakukan kegiatan kerajinan perumahan terutama membuat batik. Kerajinan lain adalah kerajinan dari tanah liat. Gambaran ini adalah gambaran tempo dulu. Pemuda-pemuda Klampok nampaknya banyak yang kemudian menjadi pejabat-pejabat tinggi negara.

Tinggal di Klampok tidak begitu lama. Ayah telah ada tanda-tanda dipindahkan tugasnya ke Cirebon. Untuk sementara kami dipindahkan dahulu ke Purwokerto. Di Purwokerto kami dititipkan pada salah seorang famili yang rumahnya di sebuah bedeng kecil milik PJKA.

Puwokerto adalah sebuah kota yang cukup besar. Namun penulis tidak sempat mengetahui lebih dalam mengenai kota Purwokerto ini. Penulis hanya sempat melihat ramainya lalulintas kereta api di Purwokerto.

Tidak lama kami tinggal di Purwokerto karena tugas ayah harus pindah ke Cirebon. Oleh karena itu barang-barang pindahan telah dipersiapkan. Pagi hari kami bergegas menuju stasiun kereta api. Tidak berapa lama, kereta api menuju Cirebon tiba. Kami segera naik. Lokomotip saat itu masih menggunakan tenaga uap dengan bahan bakar kayu. Sebelum berangkat, lokomotip mengisi air terlebih dahulu sebagai bahan baku uap. Setelah semua prosedur persiapan untuk keberangkatan kereta selesai dilakukan, masinis memberikan aba-aba , kepala stasiun meniup pluit panjang sebagai tanda kereta sudah harus berangkat. Kami sangat menyenangi naik kereta api. Pemandangan sepanjang perjalanan sangat indah. Yang paling mengesankan adalah saat melintasi sungai Serayu. Jembatan di atas sungai ini sangat panjang. Sungai ini airnya jernih. Banyak bebatuan yang besar-besar. Perjalanan menggunakan kereta api harus berhati-hati. Bara-bara api kecil beterbangan. Asap dan abu sisa pembakaran juga beterbangan. Bara api maupun abu seringkali melintas masuk melalui jendela gerbong-gerbong tempat kita duduk sehingga seringkali mengenai muka kita. Bara api yang mengenai baju menyebabkan kain berlubang-lubang kecil. Perjalanan Purwokerto ke Cirebon rasanya jauh sekali. Oleh karena itu, penulis lebih lama tertidur pulas ketimbang memperhatikan suasana indahnya perjalanan. Sesampainya di kota Cirebon, kami segera menuju rumah di jalan Kesambi. Kendaraan yang digunakan adalah dokar yang oleh orang Cirebon disebut ”per”.

Sekilas mengenal kota Cirebon.

Sebagai militer, ayah selalu berpindah tugas. Dari Cirebon ke Linggarjati terus ke Klampok dan Purwokerto.

Setelah mengikuti ayah berpindah-pindah tempat tugas, ayah dialih tugaskan kembali di Cirebon Di Cirebon kami menempati rumah di Jl. Kesambi, tepat di depan Rumah Sakit.

Suasana kota Cirebon cukup ramai. Pagi, siang dan malam kota Cirebon selalu ramai Di tempat-tempat yang agak luas, biasanya ada acara tukang obat atau ronggeng yang menyemarakkan suasana pagi maupun malam.

Pada waktu itu, di kota Cirebon banyak pedati yang ditarik kerbau. Pedati adalah alat transportasi yang cukup unik tapi sangat bermanfaat. Pedati ini merupakan alat transport yang sangat penting dalam bidang perdagangan dari daerah pinggiran kota Cirebon ke pelabuhan Cirebon atau sebaliknya. Nampaknya pedati sebagai alat transport cukup strategis untuk meramaikan pelabuhan Cirebon. Alat transportasi pedati dapat meningkatkan hidupnya pelabuhan Cirebon dalam bidang export maupun import serta perdagangan antar pulau. Barang-barang hasil produksi dari Kadipaten, Jatiwangi, Plered, Sindanglaut, Jatibarang, Karangampel dan lain-lain diangkut dengan pedati atau dengan kereta api.

Alat transportasi ini cukup unik dan mungkin tidak ada di daerah lain. Kerbau yang manarik gerobak, seolah tahu kemana harus pergi dan dimana harus berhenti, meskipun kusirnya tertidur pulas. Kerbau selalu tahu jalur lintasannya yaitu berjalan di sebelah kiri jalan sehingga tidak mengganggu arus lalulintas.

Pada waktu itu, dalam kota Cirebon terdapat sungai-sungai irigasi yang airnya cukup lancar dan bersih mengaliri sawah yang subur dalam kota Cirebon. Ada pula sungai yang cukup besar melintas kota Di pinggir sungai berderet jaring untuk menangkap udang kecil yang biasa disebut udang rebon. Oleh karena itulah kata orang kota ini disebut Cirebon.

Di Cirebon terdapat banyak dokar yang ditarik kuda. Orang Cirebon menyebutnya ”per”. Sedangkan sepeda, orang Cirebon menyebutnya ”pit”. Bahasa Cirebon agak unik. Bukan bahasa Jawa bukan pula bahasa Sunda. Orang Cirebon menyebut orang Sunda sebagai ”wong gunung”. Tapi orang Cirebon fasih berbahasa Jawa mapun bahasa Sunda. Jangan salah mentafsirkan apabila bicara dengan orang Cirebon. Apabila orang Cirebon mnyebut ”beli” berarti ”tidak”. Apabila menyapa untuk mempersilahkan kita duduk, biasanya orang Cirebon menggunakan susunan kata ”beli jagong dingin, mas?” yang dalam bahasa Indonesianya berarti ” tidak duduk dulu, mas?”.

Informasi-informasi penting untuk diketahui masyarakat biasanya disampaikan oleh seorang yang dinamakan bende. Dia berkeliling kota Cirebon dengan membawa tabuhan semacam gong ukuran kecil yang selalu dipukulnya untuk menarik perhatian masyarakat. Masyarakat yang tertarik untuk memperoleh informasi, biasa mendekat dan mendengarkan ucapan bende.

Aksi Polisionil Belanda ke Cirebon

Suasana keramaian kota Cirebon nampaknya berubah.

Tentara Belanda berusaha melakukan pendudukan kota Cirebon. Berhari-hari kota Cirebon dihujani serangan bom dari laut dan udara. Korban banyak berjatuhan. Korban-korban dapat setiap saat penulis lihat karena rumah kami tepat di depan Rumah Sakit Kesambi Cirebon.

Kemudian beberapa saat serangan laut dan udara ke Cirebon terhenti. Orang mengira bahwa serangan tentara Belanda tidak akan diteruskan. Namun tiba-tiba suasana kembali mencekam. Aksi polisionil tentara Belanda berubah menjadi serangan darat.

Tentara Belanda melakukan serangan darat kira-kira pukul 9 pagi melewati rumah kami di jalan Kesambi.. Tank-tank tentara Belanda bergerak mengepung kota Cirebon. Mereka memasuki kota Cirebon dengan melakukan penembakan membabibuta. Tank-tank Belanda bergerak diawali dengan tank yang menggunakan bendera merah putih (sebagai penyamaran) Banyak orang terkecoh oleh penyamaran bendera merah putih sehingga mengira bahwa kedatangan pasukan adalah tentara RI. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang menyambutnya dengan meneriakkan ”merdeka”. Namun nasib naas karena tentara Belanda justru malah menembaki mereka. Puluhan bahkan mungkin ratusan korban bergelimpangan di pinggir jalan. Mereka menjadi korban kekejaman aksi polisionil Belanda. Oleh masyarakat setempat seluruh korban dikubur di tempat kejadian di pinggir jalan raya.

Pada tahun 1950 penulis masih menyaksikan dan memperhatikan penggalian beberapa tengkorak serta tulang belulang manusia di Jl. Kejaksan (sekarang Jl. Siliwangi) di sebuah mulut gang, tepat sebelah rumah yang sekarang menjadi rumah dinas Pemimpin Bank BNI Cirebon.. Kata penggalinya tengkorak dan tulang belulang ini akan disemayamkan di Taman Makam Pahlawan.

Saat penyerangan, ayah berada di markasnya. Ayah lari menanggalkan atribut militernya.. Lari ke daerah perkampungan menuju tempat konsentrasi militar RI di sekitar kaki gunung Ciremai..

Masa ditinggal ayah berjuang

Selama ayah meninggalkan kami, kami terpaksa harus dapat menjalani hidup seadanya.

Ibu tidak memiiki penghasilan apapun. untuk menghidupi kami. Orang tua kami beranak 14 orang. Satu orang kakak laki-laki ikut berjuang sebagai pasukan Tentara Pelajar. Satu orang wanita tidak berada di Cirebon karena telah bersuamikan Wedana Jampang Kulon. Ibu harus menghidupi 12 orang anak. Oleh karena itu kami masing-masing mencari penghasilan sendiri-sendiri. Dua orang kakak perempuan mendirikan sekolah setingkat SD. Sedangkan sebagian dari kami (penulis beserta dua orang kakak) terpaksa menjadi pencari kerja di jalanan. Kedua orang tua kami termasuk kerabat Sultan Kasepuhan Cirebon. Oleh karena itu, tidak sedikit bantuan moril maupun materiil yang kami terima dari pihak Keraton Kasepuhan

Sebagai pencari kerja jalanan mengalami pengalaman yang cukup unik. Kami merasa senang karena tidak sedikit orang yang ingin membantu atau menyumbang dengan cara sawer uang receh. Cara ini cukup menyenangkan karena ada semacam seni merebut uang sawer.

Selain dari penghasilan uang sawer, seringkali kami menunggu perintah kerja dari tentara Belanda. Oleh karena itu kami selalu berada di depan markas tentara Belanda. Setiap subuh kami telah berada didepan markas tentara Belanda. Letak rumah kami tidak begitu jauh dari markas, karenanya kami selalu lebih dahulu berada di lokasi dari pada teman-teman pencari kerja lainnya.

Tentara Belanda biasanya memiliki sisa makanan yang tidak habis dimakan pada hari sebelumnya. Makanan tentara Belanda umumnya adalah roti dan makanan kaleng. Makanannya tidak ada yang berupa nasi atau lauk pauk. Hampir setiap pagi tentara Belanda membagikan sisa makanan tersebut kepada kami yang biasanya kebetulan berada di depan markas. Sebagian besar makanan itu masih utuh. Makanan kaleng masih dalam kaleng. Rotipun sebagian besar masih rapih, belum terjamah potongan pisau. Setelah memperoleh sisa makanan orang Belanda, kami pulang dahulu ke rumah untuk menyimpan makanan yang berhasil diperoleh.

Kira-kira jam tujuh pagi kami sudah berada kembali di depan markas.

Markas tidak memiliki petugas pembersih. Kebersihan markas dilakukan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu, seringkali kami diminta untuk ikut membereskan kamar dan tempat tidur serta membersihkan lantai maupun kamar mandi atau WC. WC biasanya kering, karena orang Belanda lebih banyak menggunakan kertas tisu dari pada menggunakan air. Membersihkan WC cukup menjijikan, tetapi demi upah yang diharapkan, maka pekerjaan itu penulis tekuni juga. Sebagai upah kerja, mereka memberikan uang yang menurut kami cukup untuk membantu keperluan ibu di rumah.

Makanan sisa atau kelebihan makanan yang masih dapat dimanfaatkan biasanya dijemur menjadi kering, Sisa nasi ataupun roti yang telah kering disimpan untuk jangka lama, yang apabila diperlukan dapat dimasak kembali. Makanan ini sangat diperlukan dalam keadaan darurat. Nasi aking yang kering kadang dapat menjadi teman nasi semacam rangginang sebagai pengganti lauk pauk. Pemanfaatan makanan sisa oleh sementara guru agama dianggap sebagai bagian dari ibadah. Banyak orang meyakini bahwa dalam agama terdapat larangan membuang makanan yang masih bisa digunakan. Oleh karena itu, sebagian orang menganggap makan nasi aking adalah bagian dari ibadah.

Penggerebegan tentara Belanda

Serangan tentara Belanda sangat mencemaskan kami. Keselamatan jiwa ayah tidak diketahui dengan jelas. Kami khawatir ayah menjadi korban pembunuhan tentara Belanda. Timbul pertanyaan, mungkin saja ayah merupakan korban yang gugur dijalanan dan dimakamkan di pinggir-pinggir jalan raya . Penulis sangat ingin untuk menggali saja kuburan-kuburan korban serangan tentara Belanda. Namun penulis meyakini hal ini tidak mungkin dapat dilakukan. Kepergian ayah sangat mencemaskan seluruh anggota keluarga. Kami sangat mendambakan agar dapat bertemu ayah walau hanya sekejap, baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan wafat.

Kepergian ayah mendorong kami untuk mencari penghasilan guna membantu ibu. Penulis beserta dua orang kakak terpaksa berusaha menjadi pencari kerja jalanan di sekitar markas tentara Belanda. Dua kakak perempuan memiliki kerajinan sulaman. Mereka juga mendirikan pendidikan setingkat SD di sebelah rumah. Ternyata, keahlian menyulam tersebut diketahui oleh pihak tentara Belanda. Oleh karena itu, tentara Belanda selalu memberikan order membuat puluhan embleem bagi baju dinas pasukannya.

Berbulan-bulan nasib ayah selalu kami tunggu beritanya.

Tak disangka. Pada suatu pagi ada berita bahwa ayah secara diam-diam telah turun dari hutan. Beliau tiba di rumah salah seorang saudara nenek di Sunyaragi. Sunyaragi merupakan sebuah tempat di pinggiran kota Cirebon.

Kami bergegas untuk menemui beliau. Alhamdulillah, keinginan kami, doa kami yang mengharapkan bertemu beliau, terkabulkan. Kami ingin berteriak kegirangan menyambut ayah. Namun secara sigap ayah melarangnya. ”Sssst jangan ” kata ayah.

Ayah berada di lingkungan kami hanya sekitar dua malam. Tapi kami semuanya merasa puas. Keberadaan ayah telah diketahui .Alhamdulillah ayah telah selamat.

Setelah bermalam dua malam, ayah bergegas kembali ke markasnya di sekitar hutan di kaki gunung Ciremai.

Kedatangan ayah untuk menemui keluarga nampaknya telah tercium oleh tentara Belanda.

Setelah kepergian ayah pagi hari , pada malam harinya kira-kira jam 11 malam, pintu rumah didobrak oleh sepasukan tentara Belanda. Todongan pistol serta senjata laras panjang diarahkan kepada kami yang sedang tidur tergeletak kelelahan. Mereka berteriak ”Mana Kapten Kusumaamidenda. Segera menyerah!” Kami semua menggigil ketakutan. Serasa akan mati malam itu juga. Semua kamar didobrak. Semua laki-laki yang ada dikumpulkan dan diperiksa. Tentara Belanda memaksa untuk membuka pintu lemari. Padahal dalam lemari tersimpan bendera merah putih serta barang-barang lain yang mempunyai nilai perjuangan. Oleh karena itu kedua kakak perempuan yang bernama Djuaani dan Djuansah yang fasih berbahasa Belanda melarangnya. Tentara Belanda tetap memaksanya. Kedua kakak perempuan itu malah berteriak melawan ”Tidak ! Yang dicari adalah Kapten Kusumaamidenda. Bukan isi lemari !”.

Kebetulan mereka melihat pekerjaan yang sedang dilakukan adalah membuat embleem tentara Belanda. Oleh karena itu, mereka tidak melanjutkan penggeledahan lemari-lemari.

Kedatangan Ayah dianggap oleh tentara Belanda sebagai usaha penyusupan para pejuang untuk melakukan serangan ke dalam kota.

Kharisma Bung Karno

Kami menyadari bahwa tentara Belanda telah membantu keperluan minimal hidup sehari-hari. Namun pendudukan Belanda di Cirebon tetap menyisakan perasaan dendam. Kenapa.? Karena perbuatan tentara Belanda yang mengakibatkan korban berjatuhan.oleh tembakan membabi buta.. Ditambah lagi kecemasan mengenai ayah yang tidak diketahui nasibnya. Tapi penulis tetap meyakini peperangan akan dimenangkan oleh geloranya perjuangan. Semua harapan ini penulis percayai karena pribadi Bung Karno memberikan keyakinan penuh sehingga Bung Karno dianggap tidak lagi sebagai manusia biasa. Kharismanya luar biasa.

Setiap mendengar Bung Karno akan berpidato, para pendengar telah siap didepan radio,. Kami menghadap radio seolah sedang menghadap pribadi Bung Karno. Dihadapan radio kami bersikap sempurna sebagaimana militer menunggu perintah komandannya. Saat lagu Indonesia Raya, dinyanyikan kamipun ikut menyanyikannya dengan hidmat . Selesai lagu Indonesia Raya, Bung Karno membuka pidatonya dengan pekik ”Merdeka”. Kami yang hadirpun menyambutnya dengan ikut meneriakan ”merdeka”. Sungguh Bung Karno mrmiliki kharisma yang tak ada tandingannya.

Bung Karno adalah tokoh pemersatu bangsa.

Bung Karno adalah bapak bangsa.

Perdamaian

Proses mancapai kemerdekaan berjalan terus.. Berbagai perjanjian perdamaian antara Kerajaan Belanda dengan Indonesia selalu mengalami kegagalan.

Pembicaraan antara Mr. Roem dari pihak Indonesia dan Van Royen dari Belanda mencapai kesepakatan untuk manghadirkan Indonesa dengan Belanda pada Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda..

Konperensi Meja Bundar telah menghasilkan kesepakatan bahwa Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Negara Indonesia ditetapkan sebagai negara merdeka berbentuk federal dengan nama Republik Indonesia Serikat. (RIS) dan konstitusinya adalah UUD RIS. Ratu Belanda dianggap sebagai Kepala Negara. Ini mencerminkan negara Republik Indonesia adalah negara merdeka tetapi tidak berdaulat. Padahal Bung Karno menginginkan Indionesia sebagai negara merdeka yang berdaulat. Selanjutnya, Bung Karno tidak menghendaki Indonesia sebagai negara federal RIS. Bung Karno hanya menghendaki Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka dan yang berdaulat.

Perjuangan membentuk Negara Kesatuan RI .terus dilakukan. Pada akhirnya konstitusi UUD RIS berhasil dihapuskan dan diganti dengan UUD Sementara RI.

Setelah NKRI terbentuk, Bung Karno kembali ke Ibukota Jakarta.

Kehadiran Bung Karno di Jakarta, disambut meriah oleh rakyat Jakarta. Dielukan oleh rakyat Jakarta yang penuh harap masa depan yang lebih baik. Masa depan negara adil dan makmur.

Pekik ”merdeka” mengumandang di udara Jakarta. Pekik ”merdeka” benar-benar telah menggelorakan jiwa membebaskan bangsa.

Namun setelah terbentuknya NKRI pekik merdeka dirasakan tidak sakral lagi. Bung Karno telah jarang mengumandangkan pekik merdeka. Sedangkan para tokoh politik maupun militer mulai ada tanda-tanda perpecahan.

Suasana mencekam setelah kemerdekaan.

Hasil persetujuan KMB dapat mengakhiri peperangan antara Indonesia dan Belanda. Cita-cita untuk membentuk NKRI telah pula tercapai. Namun antara bangsa kita sendiri terdapat perselisihan yang cukup tajam. Penculikan terjadi dimana-mana. Famili kami bernama Umar yang rumahnya berada di pinggiran kota Cirebon, hilang diculik orang. Famili kami yang berada di Ciawi Gebang Kuningan hilang pula diculik orang. Selain dari pada itu terdapat pula beberapa pejabat yang dinyatakan hilang antara lain Bupati Kuningan dan Bupati Ciamis.

Perjalanan Cirebon – Indramayu, perjalanan Cirebon – Bandung, perjalanan Bandung – Garut, perjalanan Garut – Tasikmalaya serta perjalanan ke tempat-tempat lainnya sering ada pencegatan oleh gerombolan yang tidak dikenal. Banyak sekali gerombolan-gerombolan yang membunuhi rakyat, membakar rumah rakyat. Kejadian-kejadian ini umumnya menimpa rakyat yang berada di pedesaan. Rakyat mulai enggan tinggal di desanya. Mereka mengungsi ke perkotaan membuat gubug-gubug liar di sekitar perkotaan.

Karena negara dalam keadaan bahaya, maka Bung Karno menetapkan negara dalam keadaan darurat perang (SOB).

Setiap penduduk yang melakukan perjalanan kemanapun, harus memiliki surat keterangan jalan dari RT/RW setempat Apabila tidak memiliki surat keterangan jalan, maka perjalanan akan terganggu karena pemeriksaan militer akan menganggap penyusupan gerombolan. Yang bersangkutan akan diturunkan dari kendaraan umum yang ditumpanginya.

Banyak daerah yang memberlakukan jam malam. Misalnya Tasikmalaya. Setiap jam 6 sore, sirene berbunyi, setiap orang tidak boleh keluar rumah. Setiap orang tidak boleh ada dijalanan.

Pontianak

Tahun 1953 penulis menuju Pontianak untuk tinggal bersama kakak yang saat itu menjadi Direktur Sekolah Kepandaian Putri Negeri Pontianak. Perjalanan ke Pontianak menggunakan kapal laut. Perjalanan ini cukup lama karena kapal harus bongkar muat diberbagai pelabuhan, antara lain pelabuhan Tanjung Priok, pelabuhan Pangkal Pinang , pelabuhan Singkawang. Perjalanan kira-kira dua hari dua malam. Selama dalam perjalanan penulis beberapa kali muntah karena mabuk laut. Sampai di Pontianak jam 8 malam sehingga kapal tidak bisa merapat ke pelabuhan. Kapal membuang sauh di tengah Sungai Kapuas. Suasana malam sungai Kapuas sangat indah. Kerlipan bola lampu di kejauhan dari rumah-rumah pinggir sungai akan terasa sebagai romantisnya malam bagi para remaja.

Segera setelah kapal buang sauh, berdatanganlah sampan-sampan mendekati ke sekeliling badan kapal. Mereka menjajakan berbagai makanan maupun buah-buahan. Sampan-sampan banyak pula yang kosong. Mereka menawarkan jasa penyeberangan untuk melayani para penumpang yang akan pulang tanpa menunggu kapal merapat esok pagi. Selain dari pada sampan, ada pula beberapa kapal patroli yang berputar mengelilingi badan kapal.

Esoknya, kapal mulai merapat di pelabuhan. Turun dari kapal kita akan merasakan seolah berjalan oleng. Ini pengaruh goyangan ombak laut sewaktu di kapal.

Orang Pontianak bebicara bahasa Melayu. Kalau orang Pontianak menyarankan seseorang ibu berjalan lurus saja, mereka mengatakan “Bujur ja Bu” atau “Bujur saja Bu”. Mungkin orang Sunda akan berfikir lain.

Sebagian besar penduduk Pontianak adalah orang Tionghoa. Mereka hanya berdagang dan bertani. Kaum wanita Tionghoa adalah pekerja keras. Mereka mencangkul kebun bahkan membajak sawah. Mereka bersepeda membawa hasil kebunnya. Secara politis orang Tionghoa terdiri dari dua golongan yang saling berseberangan. Ada golongan pro RRC dan ada yang pro Kwuomintang. Apabila 17 Agustus, rumah bersebelahan bisa mengibarkan bendera yang berbeda. Ada rumah yang memasang merah putih dengan bendera Kwuomintang dan di rumah lain di sampingnya mengibarkan bendera merah putih dengan bendera RRC. Kadang mereka secara politis berseteru. Apabila barongsai dari pihak Kwomintang berpapasan dengan barongsai dari pihak RRC, bisa saja terjadi clash fisik.

Pontianak adalah daerah aman. Tidak pernah ada pencurian.

Apabila dibandingkan dengan di pulau Jawa, penduduk Pontianak boleh dikatakan lebih sejahtera. Umumnya orang Pontianak berpenghasilan cukup dari hasil kebun karet atau dari hasil hutan berupa rotan atau tengkawang.

Pontianak sangat kekurangan orang berpendidikan. Pada zaman Jepang, orang berpendidikan banyak yang menjadi korban pembunuhan. Oleh karena itu tenaga terdidik banyak yang berasal dari pulau Jawa. Pada waktu itu tidak ada pendidikan setingkat SLTA. Pada saat Menteri Pendidikan Bapak Bahder Johan mengunjungi Pontianak, seluruh murid maupun guru melakukan demonstrasi menuntut didirikan sekolah SMA.

Perjuangan kedaerahan

Cita-cita perjuangan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia telah berhasil. Namun Bung Karno menganggap revolusi harus terus dilanjutkan. Di lain pihak banyak tokoh-tokoh bangsa baik sipil maupun militer yang tidak puas. Di Jawa Barat, Kartosuwiryo terus melakukan perjuangan dari dalam hutan melawan pemerintah Republik Indonesia. Di Aceh, Daud Beureuh melakukan pula perjuangan semacam itu. Orang-orang Belanda yang tidak sudi Indonesia menjadi negara merdeka, turut pula meramaikan kekacauan, di antaranya Westerling, Yungschlager, Schmit.

Di Bandung, pada tanggal 25 Januari 1950 terjadi pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang menyebabkan banyak tentara RI yang ditembak secara membabi buta di jalanan. Tokoh APRA, Westerling tanggal 22 Februari 1950 melarikan diri dari Indonesia. Tokoh orang Belanda lainya, yaitu Schmit dan Yungschlager ditangkap oleh tangannya sendiri Bapak Kombes Yunus Subiadibrata di daerah Bandung Utara.

Banyak sekali kelompok-kelompok lain yang dibentuk karena ketidakpuasan terhadap pemerintah.

Kelompok-kelompok kedaerahan muncul pula. Di Jawa Barat terdapat kelompok perjuangan yang disebut Dewan Pemuda Sunda dan Front Pemuda Sunda.

Penulis tinggal bersama kakak perempuan , Djua’ani. Beliau bersuamikan orang Tasikmalaya, Kuswoyo Sumiratmaja. Kakak ipar adalah orang bermasyarakat. Banyak sekali teman seperjuangannya baik di kalangan militer maupun sipil. Rumahnya di Jl. Panaitan Bandung seringkali dijadikan berbagai pertemuan politik. Penulis sendiri tidak mengetahui apa yang biasa dibicarakan dalam berbagai pertemuan itu. Ada beberapa perwira tinggi militer pernah datang melakukan pertemuan. Bapak Kawilarang bekas Pangdam Siliwangi, Bapak Akil, yang saat itu menjabat Komandan KMKBDR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya). Pada saat ini jabatan tersebut dikenal sebagai Pangdam Jaya. Pernah pula datang Bapak Prof. Iwa Kusumasumantri, Bapak Ir. Sanusi, Bapak Guru Tatang dan pejabat-pejabat lain dari kalangan sipil maupun militer. Dari kalangan muda terdapat salah seorang teman bernama Otje Mulayapermana.

Pertemuan-pertemuan ini biasanya menamakan dirinya sebagai para anggota Dewan Pemuda Sunda tetapi kadang-kadang pula menamakannya sebagai Front Pemuda Sunda. Penulis sendiri tidak mengetahui bentuk oraganisasi serta kepengurusannya dan penanggungjawabnya.

Pada suatu hari, Kombes Yunus Subiadibrata dengan pakaian lengkap dinas Kepolisian datang ke rumah di Jl. Panaitan. Beliau menyebutkan bahwa, baru saja dilakukan rapat koordinasi dengan Pangdam Siliwangi, Bapak Jenderal Kosasih. Beliau memperoleh laporan dari seseorang yang mengemukakan bahwa kemarin rumah ini telah dijadikan rapat penting oleh tokoh-tokoh Sunda yang menentang pemerintah. Orang yang hadir sebanyak 5 orang. Penulis tidak mengetahui siapa saja nama-nama orang yang hadir. Suasana tempat duduknyapun digambarkan beliau. Kedatangan Bapak Yunus Subiadibrata sangat mengagetkan kita. Beliau mengatakan ”Awas jangan simpan senjata”

Ternyata di antara 5 tokoh Sunda yang hadir pada pertemuan hari sebelumnya ada yang telah membocorkan perjuangan Sunda. Nampaknya penguasa Jawa Barat telah mengetahui akan ada perjuangan kedaerahan yang lebih keras.

Belakangan ternyata di beberapa daerah benar-benar terjadi pemberontakan. Di Sumatera terdapat pemberontakan PRRI. Di Padang pemberontakan PRRI dimotori oleh Dewan Banteng. Partai yang terlibat dalam pemberontakan ini adalah Partai Masjumi. Di Sulawesi terjadi pemberontakan PERMESTA.

Percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno telah terjadi beberapa kali. Penembakan terhadap Bung Karno pada saat solat I’ed di istana. Pelemparan granat di Cikini. Istana dibom oleh Maukar. Ini menunjukkan semakin kerasnya perlawanan terhadap Bung Karno di pusat maupun daerah.

Pemecatan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja

Bung Karno adalah sosok yang disegani para mahasiswa. Setiap pidato beliau selalu didengarkan, baik oleh mereka yang pro maupun yang kontra.

Pada waktu kunjungan Bung Karno ke Jepang, para mahasiswa mendengar pidato Bung Karno yang dengan tegas menyebutkan bahwa Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja dipecat dari Universiotas Padjadjaran. Peristiwa pemecatan ini banyak dibicarakan oleh para mahasiswa Universtas Padjadjaran, terutama Fakultas Sospol dan Fakultas Hukum . Para mahasiswa, umumnya merasa kecewa atas keputusan Bung Karno.

Saat itu situasi Bandung secara politis boleh dikatakan cukup genting. Situasi genting ini antara lain akibat dikeluarkannya Dwi Komando Rakyat (DWIKORA) yang dicanangkan oleh Bung Karno tanggal 3 Mei 1964. Situasi tegang antara Indonesia dengan Malaysia menimbulkan konfrontasi bersenjata. Hampir setiap saat kota Bandung melakukan latihan menghadapi serangan pesawat udara di malam hari. Apabila sirene berbunyi, seluruh sinar lampu, bahkan nyala lilinpun harus dipadamkan. Siaran radio dari Malaysia, dari BBC London, dari ABC Australia, dari VOA Amerika dilarang untuk didengarkan. Pada masa itu, terdapat pula radio-radio gelap yang umumnya menyiarkan berita-berita anti Bung Karno. Kita dilarang untuk berkumpul lebih dari 5 orang. Demonstrasipun merupakan kegiatan terlarang. Waktu itu bangsa Indonesia sedang menghadapi situasi perang melawan Malaysia. Oleh karena itu, perjuangan para mahasiswa hanya dilakukan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil yang kegiatannya membuat dan menyebarkan pamflet yang isinya menentang kebijakan pemecatan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatnaja. Kelompok-kelompok ini bergerak tanpa ada yang mengorganisir. Kegiatan inipun nampaknya telah mulai diketahui pihak penguasa. Salah seorang aktivis mahasiswa nampaknya sering bolak-balik ke rumah salah seorang perwira intel dari Kodim. Gelagat ini sering penulis kemukakan kepada teman-teman aktivis lain. Kelompok-kelompok inipun tidak terbentuk permanen, sehingga gerakan anti Bung Karno bubar dengan sendirinya.

Gerakan 30 September 1965

Pada tanggal 30 September 1965, terjadi pemberontakan yang menamakan diri G.30.S. Selama beberapa hari Bung Karno hilang dari pemberitaan.. Rakyat merasa cemas dan khawatir mengenai nasib Bung Karno. Rakyat yang pro maupun yang kontra, menganggap bahwa Bung Karno adalah pemersatu bangsa, sehingga dikhawatirkan apabila Bung Karno wafat akan terjadi perebutan kekua- saan yang akan memakan banyak korban jiwa. Namun selang berapa hari, muncul pengumuman bahwa Bung Karno dalam keadaan selamat. Bung Karno menganggap pemberontakan ini bukan hal yang besar.

Bung Karno menyebutnya Gerakan 30 September sebagai GESTOK (Gerakan Satu Oktober). Meskipun Bung Karno selamat dari berkecamuknya perebutan kekuasaan, namun munculnya Bung Karno belum menunjukkan kepastian kemungkinan penyelesaian G.30.S, Pihak militer yang dianggap sebagai korban pemeberontakan G.30.S terus memburu dan menumpas pemberontakan G.30.S ini. Banyak orang berpendapat bahwa menumpas G.30.S tidak mungkin dilakukan oleh kekuatan politik biasa, karena di dalamnya terdapat unsur militer.

Oleh karena itu, mahasiswa dan masyarakat yang menentang G.30.S , mengumandangkan seruan baru atau pekik baru yaitu ”hidup ABRI”. Pekik ”hidup ABRI” inilah yang membangun jiwa kebersamaan untuk menumpas G.30.S Namun dimana-mana Bung Karno tetap disegani dan dihormati oleh meraka yang pro maupun yang kontra . Bung Karno tetap dainggap sebagai Bapak bangsa yang banyak jasanya meskipun disanasini terdapat banyak kekurangannya. Penguasa orde barupun tetap menghormatinya. Pemerintah orde baru tidak pernah mengeluarkan hujatan-hujatan kepada beliau.

Pasca G.30.S

Masa pemerintahan sebelum pecahnya G.30.S dianggap sebagai masa orde lama, sedangkan masa pemerintahan setelah G.30.S ditumpas dinamakan masa orde baru.

Pada awal masa orde baru, atau setelah G.30.S berhasil ditumpas, Jendral Suharto diangkat oleh MPRS sebagai Presiden RI. Setelah beberapa tahun orde baru berkuasa, masiswa mulai mencurigai pihak ABRI. Banyak orang-orang yang dekat dengan Presiden Suharto antara lain para Aspri (Asisten Pribadi Presiden) dianggap sebagai orang-orang yang seringkali melakukan kebijakan melebihi kewenangannya.. Para Aspri ini umumnya adalah militer. Oleh karena itu, mahasiswa menganggap bahwa hal ini memerlukan perubahan yang mendasar. Selain dari pada itu mahasiswa menganggap bahwa pemerintah terlalu dekat dengan Jepang dan terlalu menguntungkan pihak Jepang.

Ketidakpuasan mahasiswa seringkali dilampiaskan dengan beberapa demonstrasi.. Demonstrasi memuncak dengan timbulnya peristiwa yang disebut peristiwa ”Malari” Ketidak puasan mahasiswa ini telah memudarkan pekik ”Hidup ABRI”.

Pasca peristiwa ”Malari” dan Pasca Reformasi.

Pasca peristiwa ”Malari” keadaan perekonomian semakin baik. Selama bertahun-tahun suasana aman, tidak ada gejolak yang berarti. Kesejahteraan rakyat boleh dikatakan semakin meningkat. Namun suasana aman oleh banyak pihak dianggap sebagai ”semu”. Suasana ini berjalan selama 32 tahun.

Pada tahun 1997 terjadi gejolak perekonomin dunia yang mempengaruhi terpuruknya perekonomian Indonesia. Banyak perusahaan yang bangkrut. Pemutusan hubungan kerja besar-besaran terjadi diberbagai perusahaan. Pengangguran meningkat. Para mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat mempersalahkan ketidak mampuan pemerintah orde baru . Orde baru telah melakukan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sebagai sumber keterpurukan bangsa. Oleh karena itu, para mahasiswa , para cerdik pandai melakukan gerakan yang dinamakan gerakan ”reformasi” .Gerakan reformasi ini ternyata hanya berhasil menjatuhkan Presiden Suharto. Namun Gerakan reformasi tidak mencerminkan gerakan yang memiliki jiwa bersama dari seluruh rakyat untuk meperbaiki segalanya.. Malah yang timbul adalah saling hujat. Dalam masa reformasi tidak ada tanda-tanda kebersamaan untuk membangun bangsa. Pemuda reformasi hanya berhasil mengumpulkan kaum tua Amin Rais, Megawati dan Gus Dur. Hampir tidak terlihat munculnya kaum muda reformasi yang menjadi tokoh bangsa seperti halnya tokoh pendahulu Sukarno, Hatta, Sutan Syahrir, Suharto, tokoh-tokoh 66 dan kain-lain..

Ungkapan kebersamaan untuk melakukan gerakan yang biasanya diwujudkan dengan seruan atau pekik, pada masa reformasi hanya terdengar pekik ”turunkan Suharto” . Bahkan sekarang , setelah turunnya Pak Harto, yang tumbuh adalah seruan yang menimbulkan khaos, sepert ”bakar!” maka terbakarlah kampus atau ”lempar” maka melayanglah batu. Dan sebagainya ! Kini timbul pertanyaan, siapakah yang bertanggungjawab untuk membentuk pemuda yang lebih santun.

Harapan masa depan

Semua orang mengharapkan masa depan yang lebih baik. Secara ideologis harapan masa depan kita adalah masyarakat adil dan makmur. Penulis telah merasakan nikmatnya hidup di alam kemerdekaan. Tapi penulis melihat masih banyak pula orang yang dahulu ikut berjuang membela tanah air, namun saat ini masih tetap berada di bawah garis kemiskinan. Mereka telah renta. Mereka tidak mampu untuk membantu dirinya sendiri. Mereka tidak mampu mengurus dirinya sendiri. Mereka telah menjadi kaum jompo. Mereka hanya dibantu oleh teman atau saudara yang juga berada di bawah garis kemiskinan. Pemerintahpun belum mampu membantu mereka sepenuhnya. Bagaimana nasib para sesepuh kita serta nasib kaum jompo.Kita harus sama-sama memikirkan bagaimana seharusnya kita menangani kaum lansia dan kaum jompo. Kita harus menyadari bahwa kita semua akan menuju ke sana !

Selanjutnya, dahulu pemuda menjadi pejuang yang menyatu dalam barisan pembela bangsa. Saat ini para orang tua sangat mengharapkan pemuda menjadi pemimpin bangsa yang mandiri dan santun. Pemuda yang dapat memilih mana yang baik bagi bangsa maupun bagi dirinya sendiri.

Selanjutnya lagi, dahulu daerah pedesaan adalah tulang punggung perjuangan. Namun saat ini mereka tetap hidup dalam alam keterbelakangan. Banyak orang yang bicara tentang pembangunan pedesaan dan pertanian. Namun banyak pula orang atau badan yang justru membatasi kemajuan mereka. Lembaga keuangan sebagai lembaga yang harus membantu tumbuhnya para entrepreuner baru di pedesaan, namun justru banyak yang membatasinya. Pengalaman berusaha, kekurangan nilai jaminan, ketiadaan pasar, menjadi alasan untuk membatasi kemajuan mereka.

Guru dan pendidikan adalah bagian penting dalam usaha mencerdaskan bangsa. Kekuatan massa guru yang besar dapat mempengaruhi gejolak politik. Padahal permasalahan guru dan pendidikan masih banyak yang harus dibenahi. Kesejahteraan guru serta payung hukum bagi guru honorer dan guru bantu masih banyak yang perlu disempurnakan. Di lain pihak, banyak mata pelajaran ataupun matakuliah serta pembelian buku-buku yang hanya membebani para murid bahkan orang tua murid. Kesemua ini tentunya memerlukan pula penyempurnaan.

Pembangunan bangsa memerlukan jiwa yang sehat serta badan yang sehat. Oleh karena itu, fasilitas menyehatkan rohani dan jasmani perlu terus disempurnakan.

Perjuangan masa depan

Harapan masa depan masyarakat bukan hanya terbatas kepada hal-hal yang dikemukakan di atas. Banyak sekali variasi harapan masa depan rakyat. Harapan masa depan yang digambarkan di atas penulis rumuskan sebagai hal yang harus kita perjuangakan bersama agar semua pihak ikut mendorong dan memperhatikan :

    1. Kehidupan para lansia & kaum jompo
    2. Pemuda agar jadi pemimpin bangsa yang mandiri dan santun
    3. Kehidupan rakyat yang sehat rohani & jasmani
    4. Bank & Lembaga Keuangan benar-benar membantu usaha baru & memajukan masyarakat daerah pedesaan.
    5. Kesejahteraan guru & kesempurnaan pendidikan.

.

Rumusan cita-cita tersebut di atas hanyalah sebagaian kecil saja dari keinginan masyarakat. Untuk memperjuangkannya penulis menghimbau agar kita yang sejalan dapat bekerja bersama-sama. Kapan lagi kalau tidak sejak sekarang kita mulai.! Mari kita teguhkan tekad kita untuk ”berfikir dan bekerja, bersama rakyat membangun bangsa”

Perjuangan masa lalu hanyalah gambaran reorika saja. Bukan hal yang perlu diperdebatkan. Mari kita bangun masa depan.